Sabtu, 01 Februari 2014

Surat untuk Bapak.

Temanggung 1 February 2014

Salam hormatku Bapak.

Aku tak tahu harus berkata apa saat aku menyebut namamu Pak. Aku tak punya banyak kenangan bersamamu, 4 tahun kebersamaan kita aku rasa belum cukup untuk bisa mengenalimu dengan baik. Tapi aku yakin, kau mengenaliku, bahkan sebelum aku ada.

Bapak, suratku ini adalah ungkapan permintaan maaf, tahun-tahun berlalu namun tak sekalipun aku bisa membuatmu tersenyum bangga, pun juga Ibu.

Bapak, Ibu selalu mengajari aku tegar dalam menghadapi apapun, pun juga ketika harus merelakan kepergian Bapak. Lalu apakah sekarang sudah terlalu terlambat jika aku sudah hampir menikah, dan baru merasa kehilanganmu??

Ah, aku melantur Pak, aku berharap Bapak bahagia di sana. Doakan saya Pak, sampai jumpa.

Salam.

Kartika Rinonce

Minggu, 26 Januari 2014

Grebeg Sudiro 2014

Warga Kelurahan Sudiroprajan, Solo, mengarak sebuah gunungan yang terbuat dari Kue Keranjang di depan Pasar Gede Solo, setelah diarak Gunungan tersebut akan diperebutkan oleh pengunjung yang hadir. Selain Gunungan yang diperebutkan, panitia Grebeg juga menyediakan Kue Keranjang yang bisa didapatkan dengan cuma-cuma.
Arak-arakan ini adalah bagian dari acara Grebeg Sudiro 2014 yang diadakan pada Minggu (26/1/2014). Dalam acara tersebut pengunjung juga dimanjakan dengan kesenian Barongsai, Liong Naga, Karawitan Jawa yang dipadu dengan alat musik khas China, ribuan lampion, dan lain-lain.
Grebeg Sudiro sendiri merupakan simbol kerukunan antar etnis di Solo, dimana etnis Jawa dan Tionghoa hidup rukun berdampingan selama ratusan tahun.

Jumat, 24 Januari 2014

Lampion di Solo Imlek Festival 2014

Lampion-lampion cantik ini tergantung di sepanjang Jalan Jendral Sudirman, mulai dari Pasar Gedhe sampai dengan Benteng Vastenburg Solo.
Lampion berjumlah 2014 tersebut menambah semarak perayaan Solo Imlek Festival tahun ini. Selain lampion, dalam pagelaran tersebut juga ada pertunjukan wayang Potehi, workshop alat musik Erhu, dan masih banyak lagi.
Puncaknya akan ada Grebeg Sudiro, yakni dengan mengarak gunungan Kue Keranjang, untuk diperebutkan warga masyarakat yang hadir. Grebeg Sudiro ini merupakan simbol kerukunan antara masyarakat Jawa dan Tionghoa di Solo.

Selasa, 21 Januari 2014

Jante Arkidam

Sepasang mata biji saga
Tajam tangannya lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lalang dia tebang
Arkidam, Jante Arkidam.

Dinding tembok hanyalah tabir embun
Lunak besi di lengkungannya
Tubuhnya lolos di tiap liang sinar
Arkidam, Jante Arkidam.

Di penjudian, di peralatan
Hanyalah satu jagoan
Arkidam, Jante Arkidam

Malam berudara tuba
Jante merajai kegelapan
Disibaknya Ruji Besi pegadaian

Malam berudara lembut
Jante merajai kalangan ronggeng
Ia menari, ia ketawa

"Mantri polisi lihat ke mari! Bakar meja judi dengan uangku sepenuh saku. Wedana jangan ketawa sendiri! Tangkaplah satu ronggeng berpantat padat! Bersama Jante Arkidam menari! Telah kusibak Ruji Besi!"

Berpandangan Wedana dan Mantri Polisi "Jante, Jante Arkidam! Telah dibongkarnya pegadaian malam tadi, dan kini ia menari!"

"Aku, akulah Jante Arkidam Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya Batang pisang, tajam tanganku lelancip gobang, telah kulipat Ruji Besi"

Diam ketakutan seluruh kalangan
Memandang kepada Jante bermata Kembang Sepatu

"Mengapa kalian memandang begitu? Menarilah, malam senyampang lalu!"

Hidup kembali Kalangan, hidup kembali Penjudian, Jante masih menari berselempang selendang

Diteguknya sloki kesembilanlikur
Waktu mentari bangun, Jante tertidur.

Kala terbangun dari mabuknya Mantri Polisi berada di sisi kiri
"Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan!"

Digisiknya mata yang sidik "Mantri Polisi, tindakanmu betina punya! Membokong orang yang nyenyak"

Arkidam diam dirante kedua belah tangan
Dendamnya merah lidah ular tanah

Sebelum habis hari pertama Jante pilin ruji penjara
Dia minggat meniti cahaya

Sebelum tiba malam pertama Terbenam tubuh Mantri Polisi di dasar kali

"Siapa lelaki menuntut bela? Datanglah kala aku jaga!"

Teriaknya gaung di lunas malam
Dan Jante berdiri di atas jembatan
Tak ada orang yang datang
Jante hincit menikam kelam

Janda yang lakinya terbunuh di dasar kali Jante datang ke pangkuannya

Mulut mana yang tak direguknya
Dada mana yang tidak diperasnya?
Bidang riap berbulu hitam
Ruas tulangnya panjang-panjang
Telah terbenam beratus perempuan
Di wajahnya yang tegap

Betina mana yang tak ditaklukkannya?
Mulutnya manis jeruk Garut
Lidahnya serbuk kelapa puan
Kumisnya tajam sapu injuk
Arkidam, Jante Arkidam

Teng tiga di tangsi Polisi
Jante terbangun ketiga kali
Diremasnya rambut hitam janda bawahnya

Teng kelima di tangsi Polisi
Jante terbangun dari lelapnya
Perempuan berkhianat, tak ada di sisinya
Berdegap langkah mengepung rumah
Didengarnya lelaki menantang:
"Jante, bangun! Kami datang jika kau jaga!"

"Datang siapa yang jantan
Kutunggu di atas ranjang"

"Mana Jante yang berani
Hingga tak keluar menemui kami?"

"Tubuh kalian batang pisang
Tajam tanganku lelancip pedang"

Menembus genteng kaca Jante berdiri di atas atap
Memandang hina pada orang yang banyak
Dipejamkan matanya dan ia sudah berdiri di atas tanah
"Hei, lelaki Mata Badak lihatlah yang tegas Jante Arkidam ada di mana?"

Berpaling seluruh mata kebelakang
Jante Arkidam lolos dari kepungan
Dan masuk ke kebun tebu.

"Kejar jahanam yang lari!"

Jante dikepung lelaki satu kampung
Dilingkung kebun tebu mulai berbunga
Jante sembunyi di lorong dalamnya

"Keluar Jante yang sakti!"
Digelengkannya kepala yang angkuh
Sekejap Jante telah bersanggul

"Alangkah cantik perempuan yang lewat
Adakah ketemu Jante di dalam kebun?"

"Jante, tak kusua barang seorang
Masih samar, di lorong dalam"

"Alangkah Eneng bergegas
Adakah yang diburu?"

"Jangan hadang jalanku
Pasar kan segera usai!"

Sesudah jauh Jante dari mereka
Kembali dijelmakannya dirinya

"Hei lelaki sekampung bermata dadu
Apa kerja kalian mengantuk di situ?"

Berpaling lelaki ke arah Jante
Ia telah lolos dari kepungan

Kembali Jante diburu
Lari dalam gelap
Meniti muka air kali
Tiba di persembunyiannya.

Ajib Rosidi
(1967)

Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya

SEORANG TUKANG RAMBUTAN PADA ISTRINYA
“Tadi siang ada yang mati, dan yang mengantar banyak sekali,
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan datam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil “Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutan" Dan menyoraki saya.
Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu
Mengejar dan menyalami saya “Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar “Hidup pak rambutan!” sorak mereka
“Terima kasih, Pak, terima kasih! Bapak setuju kami, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, Pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka “Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu Belum pernah seumur hidup Orang berterima-kasih begitu jujurnya Pada orang kecil seperti kita."
Taufiq Ismail
1966

Kamis, 16 Januari 2014

Fajar Pagi Kinah Rejo

Fajar Pagi di Kinah Rejo.
Kinah Rejo adalah desa terakhir sebelum memulai pendakian Merapi.
Seperti Fajar Pagi, desa ini selalu punya harapan baru, setelah (seberapapun dahsyatnya) erupsi Merapi, yang akan membuat Kinah ‘kembali’ Rejo





Pilihan dan Kesetiaan

Pada awalnya semua orang bangga akan pilihannya, tapi pada akhirnya tidak semua orang setia pada pilihannya. Mungkin karena akhirnya dia sadar bahwa apa yang dipilihnya tidak sesuai dengan apa yang diimpikannya.Dalam hidup yang paling enteng adalah memutuskan untuk memilih, dan yang paling berat adalah memutuskan untuk setia pada pilihannya. Hanya membutuhkan beberapa waktu untuk menentukan pilihan, namun terkadang dibutuhkan seumur hidup untuk setia pada pilhan itu.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management